MENERIMA DAN MENYAMPAIKAN KEBAIKAN
Mungkin, tulisan ini tidak ada hubungannya dengan keperpustakaanan. Tapi, bisa juga sih disambung-sambungkan. Saya menulis ini karena ilham pribadi saja. Ide tiba-tiba, begitu kira-kira pasnya.
Judul tulisan ini bergaya materi majlistakliman. Memang, pasnya disampaikan dalam khutbah jumat atau pengajian umum. Namun, berhubung dengan momentum Idul fitri 1437 H., saya menuliskannya di kolom ini.
Menerima kebaikan adalah menyimak, memahami, dan melaksanakan ajakan kebaikan hingga menjadi perbuatan. Setiap ilmu tentang kebaikan yang kita terima bukan sekadar menjadi pengetahuan melainkan harus menjadi amal, sehingga langkah dan kegiatan mencari ilmu tidak sia-sia. Betul, bahwa mencari ilmu berpahala dengan sendirinya, tapi akan semakin berlipat pahalanya ketika ilmu yang diterima berbuah amal.
Menerima kebaikan tidak harus memasalahkan sudah atau belum baik penyampainya. Kita hanya bertanggung jawab menerima kebaikan bukan mengetahui duduk perkara orang yang menyampaikannya. Baik dan tidak baik penyampai jadi tanggung jawab penyampai, sehingga yang terbebani untuk mengetahui baik buruk perilakunya hanyalah penyampai. Oleh sebab itu, jangan sampai mengabaikan ajakan kesalehan yang disampaikan oleh orang yang menurut penilaian kita bukan orang saleh. Kita tidak harus mencibir ajakan bersedekah hanya gara-gara orang yang mengajaknya bukan orang yang rajin bersedekah.
Kebaikan tetap dudukkan sebagai kebaikan, sebab ia tidak akan berubah menjadi keburukan hanya gara-gara disampaikan oleh orang yang belum baik. Sekalipun datang dari orang jahat, ajaran kebaikan tetap sebagai kebaikan. Nabi mengatakan, “Ambillah pengetahuan baik itu dari manapun dia keluar.” Imam Ali menyebutkan, “Lihat isi perkataannya bukan yang mengatakannya.”
Kata para ilmuwan, kebaikan itu kebenaran objektif tidak terpengaruhi oleh dugaan dan sangkaan. Seperti Al-Quran sebagai kebenaran objektif (al-‘ilm al-tabi’), ia tetap sebagai kebenaran sekalipun ada orang yang menyatakan bahwa Al-Quran isinya tidak benar.
Bagi para penyampai kebaikan (tukang dakwah, ustad, kyai, guru) jangan riskan menyampaikan kebaikan kepada masyarakat atau jamaah hanya gara-gara kita belum menjadi orang baik. Teruskan menyampaikan kebaikan sekalipun kebaikan terkadang kita abaikan, supaya kebaikan tidak sia-sia (nganggur). Sebab, kalau tidak ada yang menyampaikan, kebaikan akan terkubur dan tak berguna. Jangan dikira oleh kita bahwa ajaran-ajaran kebaikan yang kita sampaikan sama sekali tidak akan ada yang melaksanakannya. Mungkin saja oleh kita tidak dilakukan tapi oleh orang lain mungkin dilaksanakan.
Terdapat sebuah riyawat terkait surat Al-Shaff ayat 2 dan 3, yang menyatakan bahwa Allah sangat murka kepada orang-orang yang hanya pandai berbicara namun tidak pandai berbuat. Para sahabat Nabi Muhammad pernah merasakan kegalauan terkait dengan ayat yang Para sahabat yang biasa mendakwahkan kebaikan berencana mengajukan kepada Nabi Muhammad untuk berhenti dari kegiatan dakwahnya, karena mereka merasa belum bisa mengharmonikan antara ucapan dengan perbuatan secara total. Terkadang kebaikan banyak terlontar dari mulut, tapi yang tersaji dari perbuatan kebalikannya. Sementara itu, kepatuhan para sahabat pada isi wahyu Al-Quran begitu tinggi. Ketika Nabi Muhammad mendengar rencana para sahabatanya, beliau melarang mereka untuk berhenti menyampaikan kebaikan kepada sesamanya. Nabi berkata, “Jangan dikira bahwa kebaikan yang kalian sampaikan tidak akan ada yang mengamalkan. Bisa jadi oleh kalian tidak dilaksanakan, tapi oleh orang lain yang mendengarnya belum tentu diabaikan. Jika kalian berhenti berdakwah, kebaikan akan sia-sia. Sebab, apabila tidak kalian sampaikan, kebaikan itu tidak akan jadi amal. Oleh kalian tidak dilaksanakan, oleh orang lain juga sama tidak dilaksanakan karena tidak ada yang menyampaikannya.”
Secara kasar, kira-kira dapat dikatakan bahwa untuk menyampaikan kebaikan bukan dominasi orang-orang baik saja, orang setengah baik pun bisa melakukannya dan jangan khawatir dicibir orang. Memang, yang sangat ideal untuk menjadi penyampai kebaikan kita berusaha agar menjadikan diri kita sebagai orang baik terlebih dahulu, sehingga harmoni antara ucapan dengan perbuatan. Akan tetapi, kalau kita belum bisa seperti itu, jangan berhenti menjadi juru penyampai kebaikan. Perbincangan kebaikan jangan sampai mandek, tidak ada yang membincangkannya. Biarkanlah kebaikan bergulir menjadi perbincangan banyak manusia, sekalipun sekadar dibincangkan.