Librarian Hope (Bagian I)
“Moderenkan Perpustakaan”
Terus terang, sejak UIN Bandung punya gedung Perpustakaan yang megah, bahkan pernah kena petaka angin puting beliung sagalarupa, saya belum masuk sekalipun ke gedung itu. Ya, kurang lebih lima tahun saya tidak pernah menginjakkan kaki di Perpustakaan sejak berdiri kokoh gedungnya.
Suatu hari saya berbincang dengan Pak Rektor (Prof.Dr.H. Mahmud, M.Si), yang baru sekitar satu minggu dilantik oleh Pak Lukman Hakim Saefudin (Menteri Agama). Salah satu perbincangan saya dengan beliau adalah program unggulan untuk pengembangan kampus UIN Bandung. Pak Rektor mengatakan, kita moderenkan Perpustakaan. Pokoknya, kalau orang menyebut UIN Bandung, yang teringat oleh mereka pertama kali adalah perpustakaannya.
Setelah obrolan itu, saya tidak terlalu banyak berbincang tentang perpustakaan lagi. Saya kembali beraktivitas di markas saya. Saat itu saya masih menggawangi Lembaga Penjaminan Mutu (LPM), bersama kolega saya DR.H.Dindin Jamaludin yang menjadi ketuanya. Biasanya saya memanggil dia, Ji (kependekan dari kata Haji). Saya ketika itu menjadi Sekretaris Lembaga. Sementara itu, Dr.H. Ramdani Wahyu (biasa saya panggil Pak Boss) menjadi Kepala Pusat Audit Mutu dan Bu Teti Ratnasih, M.Ag (biasanya, saya panggil dia Teh) menjadi Kepala Pusat Pengembangan Mutu.
Obrolan hangat tentang perpustakaan bersama Pak Rektor kembali muncul menjelang penyusunan “kabinet” di rektorat. Setahu saya, Pak Rektor merasakan pening kepala luar biasa ketika menjelang penyusunan “kabinet”. Memang, sangat wajar terjadi semacam itu, sebab jumlah jabatan sangat terbatas, sementara yang ingin menjadi pejabat “melebihi kapasitas.” Persis nasib luas Kampus I UIN Bandung, yang luas tanahnya sangat terbatas untuk menampung warga kampus (mahasiswa, dosen, dan karyawan) yang jumlahnya mencapai puluhan ribu.
Akhirnya, tersusunlah kabinet rektorat dengan beragam harapan yang menyertai. Saya masih ingat, setelah pelantikan para wakil rektor, dekan, dan ketua lembaga, Pak Rektor bilang (di dalam mobil di parkiran), “Luar biasa, Pak Ija. Saya kurang tidur juga nih. Rek (mau) istirahat dulu lah.”
Muka Pak rektor memang kelihatan tampak penat. Saya katakan kepada beliau, “Ya, begitu kayanya jadi pejabat geude (besar) mah.”
Walaupun dia kelihatan capek, sebelum pergi dia masih berbincang dengan saya sekitar sepuluh menitan. Salah satu isinya perihal Perpustakaan. Seiring dengan melaju di mobil, Pak Rektor masih bilang, “Ya kita pikirkan Perpustakaan.”
Akhir bulan Oktober saya bersama beberapa kepala Pusat yang lain dilantik menjadi Kepala “Gudang Ilmu” ini. Kalau tidak salah, hari Jumat pelantikan dilaksanakan. Setelah dilantik, saya berbicang banyak hal dengan Kepala Perpustakaan yang lama, Dr.H. Asep Arifin (saya suka memanggil dia dengan sebutan Kyai) di ruang tunggu rektorat lantai dua. Cukup lama saya berbincang dengan Pak Asep. Di saat sedang berbincang, Pak Rektor keluar dari ruangannya dan berkata kepada saya, “Tah, sok pelajari banyak hal dari Kyai (tentang Perpustakaan).”
Kurang lebih tiga atau empat hari (lupa persisnya) setelah dilantik untuk menahkodai “Gudang Ilmu” ini saya baru masuk kantor. Saya pun masih bulak-balik ke kantor lama saya di lantai empat gedung rektorat (LPM) karena beberapa hal yang harus diselesaikan.
Ternyata, banyak hal yang memerlukan pemikiran serius tentang perpustakaan. Ruangan gedung, fasilitas, teknologi otomasi, manajemen, kinerja, dan lain-lain. Bahkan, ketika saya naik ke lantai empat, ruangannya masih kosong molongpong menunggu untuk digunakan secara maksimal.