Miindung ka Waktu,
Mibapa ka Zaman

Pendidikan Karakter untuk Kebangsaan

 

Pendidikan karakter di Indonesia dibincangkan belakangan ini terkait dengan maraknya perilaku pejabat publik yang menyelewengkan kewenangnya. Korupsi, makelar kasus (markus), penyuapan, dan perilaku menyimpang lainnya ditengarai akibat tidak terbangunnya karakter di kalangan mereka. Pendidikan karakter diduga bisa menjadi pemecah persoalan yang menghimpit bangsa ini.

Pendidikan karakter harus dijadikan antisipasi generasi yang akan datang agar terputus dari perlaku dan tindakan para pendahulunya dalam melakukan berbagai penyelewengan di negeri ini. Dengan pendidikan karakter, diharap mereka tercegah dari perilaku korupsi, praktik politik yang tidak bermoral, bisnis yang culas, penegakan hukum yang tidak adil, dan sebagainya.

            Kesadaran akan pembentukan karakter yang baik dan benar merupakan kecenderungan global, bukan hanya di Indonesia. Di banyak tempat, masyarakat dunia membicarakan tentang karakter yang dikaitkan dengan kemanusiaan dan bahkan dengan perdamaian dunia. Belakangan ini, kita pun telah disibukan dengan membicarakan pendidkkan nilai (values education). Konsep utamanya adalah bahwa sains yang diajarkan kepada para siswa tidak boleh bebas nilai. Pendidikan nilai, secara ideologis, diproyeksikan untuk menandingi ideologi pendidikan positivisme yang menyatakan bahwa sains adalah bebas nilai (value-free).

            Pengembangan dari konsep pendidikan nilai, tahun 1994 sistem pendidikan kita mengembangkan sistem pengajaran yang menyatupadukan antara ilmu-pengetahuan-teknologi (Iptek) dan iman-takwa (imtak). Istilah iptek dan imtak begitu popular di masyarakat pendidik di negeri ini. Sistem pengajaran iptek-imtak “merekomendasikan” agar pendidikan agama disisipkan ke dalam mata pelajaran umum. Berbagai buku pedoman disusun untuk pelaksanaan sistem pengajaran yang memadukan antara Iptek dan Imtak. Ribuan guru ditatar untuk melaksanakan pengajaran yang bermuatan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan. Sekolah didorong agar menyediakan sarana dan lingkungan bagi para siswa untuk mengembangkan kesadaran akan nilai-nilai agama.

            Perjalanan pendidikan nilai dikembangkan telah belasan tahun, sampai sekarang. Namun, apakah pendidikan nilai berhasil membentuk perilaku yang baik dan benar bagi para siswa dan bangsa ini? Faktanya, belum. Perilaku bangsa ini tetap masih lepas kendali dan semakin berani melakukan tindakan penyelewengan (korupsi) di berbagai bidang.

Pendidikan karakter tidak memandang bahwa pembangunan nilai etika sebagai “proyek temporer”, melainkan sebuah upaya berkelanjutan dan terus-menerus. Pendidikan karakter menempatkan tradisi religius dan budaya sebagai jangkar perilaku dan pembentukan sikap dan sifat. Pendidikan karakter meyakini bahwa manusia yang memiliki religiusitas dan komitemen kebudayaan akan semakin termotivasi untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat, komitmen pada kebaikan, bertanggung jawab atas penghargaan hidup orang lain, dan mampu menghindar dari konflik interest pribadi.

Pendidikan karakter merupakan keseluruhan proses pendidikan yang dialami peserta didik sebagai pengalaman pembentukan kepribadian melalui memahami dan mengalami sendiri nilai-nilai, keutamaan-keutamaan moral, nilai-nilai ideal agama, nilai-nilai moral Pancasila, dan sebagainya. Meskipun lingkungan sekolah berperan kuat dalam pendidikan karakter, peran orang tua, masyarakat, dan negara tidak kalah penting. Nilai-nilai kebaikan dan keujuran, sebagai bagian drai pendidikan karakter, tidak akan bisa terealisasi menjadi karakter individu jika tidak pernah dipraktikkan di rumah dan di masyarakat.

Pendidikan merupakan aktivitas kebangsaan yang didasarkan pada tuntutan agama dan konstitusi, setidaknya menurut keyakinan agama Islam. Selain itu, pendidikan merupakan universal kebudayaan yang terjadi di setiap sistem sosial masyarakat di dunia. Sebagai universal kebudayaan, pendidikan memunculkan ragam bentuk dan pola yang memiliki kekhasan masing-masing.

Pendidikan di Indonesia harus diarahkan untuk pembangunan karakter bangsa dan penciptaan kesejahteraan masyarakat. Pendidikan harus memberikan ruang dan peluang terbuka untuk setiap elemen bangsa, sehingga harus diupayakan dapat terakses setiap lapisan masyarakat.

Sebagai kanal revitalisasi nasionalisme, pendidikan karakter harus didorong sebagai beban dan tanggung jawab negara, tidak diserahkan kepada pihak swasta melalui privatisasi lembaga-lembaga pendidikan tinggi secara khusus dan satuan pendidikan lainnya. Kapitalisasi dan liberalisasi pendidikan akan mengikis jati diri bangsa ini dan masyarakat akan lebih berorientasi pada nilai-nilai pragmatis, sehingga nilai-nilai luhur pendidikan akan tersingkir secara mudah dari masyarakat.

Salah satu problem bangsa yang cukup besar dan perlu mendapat sorotan belakangan ini adalah nasionalisme yang terus merosot dan meluntur. Karakter nasionalisme tidak menjadi bagian dari jati diri siswa, juga para penyelenggara pendidikan di negeri ini. Tidak bisa ditawar lagi, karakter nasionalisme harus dibangun dan dikembangkan melalui sebuah sistem pendidikan yang integral dan menyadarkan nilai-nilai kebangsaan.

Karakter utuh nasionalisme, pada dasarnya merupakan kemampuan siswa dan para penyelenggara pendidikan untuk menghayati Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Keempat hal ini  harus merupakan bagian vital dalam penyampaian pengetahuan kepada para peserta didik. Celakanya, empat hal tersebut hanya bagian dari buah bibir para politikus yang tidak diupayakan secara membumi oleh mereka. 

 

BCMath lib not installed. RSA encryption unavailable